Satu jam saja
By : Ifana devii Mumtahana
Jangan berakhir..
Karena esok takkan lagi..
Satu jam saja.. kuingin diam berdua..
Mengenang yang pernah ada..
Aku kembali terduduk disini.
Memandangi langit senja yang masih saja memamerkan semburat jingganya yang
begitu indah. Suara gemuruh ombak menjadi backsound yang takkan pernah ada
akhirnya. Pasir putih pantai menjadi alas tempatku duduk.
Lama aku terdiam menikmati indahnya
langit sore yang lembut. Merasakan hangatnya matahari senja yang menyinari
tubuhku. Sayup sayup terdengar suara daun kelapa yang saling bergesekan akibat
tertiup angin.
Mataku terpejam sejenak seiring
berpulangnya raja siang ke peraduannya. Ini suasana teromantis yang pernah aku
rasakan. Kembali kubuka mataku. Lalu tersenyum menyadari sang mentari hanya
tinggal terlihat setengahnya. Ah.. andai kamu disini. Pasti akan terasa
sempurna.
Aku ingin bermain air!
Kulangkahkan kakiku menuju bibir
pantai. Merasakan angin senja menerpa
tubuhku dengan lembut. Kubiarkan bajuku basah oleh air laut yang hangat. Aku
benar benar ingin mengenangnya.
Perlahan memori itu satu persatu
muncul memenuhi alam fikiranku. Berloncatan. Saling berdesak ingin segera aku ingat. Sedikit
memberikan efek nyeri pada dadaku.
Lalu tanpa terasa air itu meluncur
dari kedua pelupuk mataku. Satu, dua, hingga membentuk anak sungai kecil
dikedua belah pipiku.
Kamu menggangguku lagi!
Belum puaskah dia hanya dengan
menggoreskan luka diulu hatiku? Masih kurang? Kenapa begitu tega?
Kamu telah pergi dari kehidupanku.
Kamu telah meninggalkan berjuta harapan
dan cita cita yang telah tertata rapi dalam fikiranku. Kamu
menghancurkan semuanya. Kamu pergi. Tapi kenapa tak lekas pergi dari ingatanku?
Kamu jahat!
Jangan berakhir..
Karena esok takkan lagi..
Satu jam saja.. hingga kurasa bahagia..
Mengakhiri segalanya..
“apa hal yang paling kamu inginkan
didunia ini?” dia bertanya begitu lirih ditelingaku. Aku mengerutkan kening
bingung. Pertanyaannya aneh sekali..
“tentu aja kamu. Kenapa nanya
gitu?” aku benar benar bukan tipikal orang yang pandai menyembunyikan ekspresi.
Aku akan dengan mudah merasa penasaran bila ada sedikit saja hal yang
mengganggu fikiranku.
“aku sayang kamu” aku tersentak
kaget, bukan karena dia menyatakan rasa sayangnya. Bukan juga karena dia
berkata secara tiba tiba di telingaku. Tapi..
“kamu kok aneh banget sih hari ini.
Kamu g lagi sakit kan?” aku menyentuh dahinya dengan telapak tanganku. Ini
benar benar kejadian langka.
Tadi, pagi pagi sekali, dia sudah
beretengger manis di depan jendela kamarku sewaktu aku bangun tidur. Lalu
menarik tanganku untuk pergi. Padahal aku belum beres beres. Jangankan beres
beres, menyentuh airpun aku belum melakukannya. Tapi yang namanya dia, pasti
akan memaksakan apa yang menjadi kehendaknya. Untung saja tadi aku ngeyel
meminta cuci muka dan bersiap siap dahulu. Coba kalau tidak, entah wajahku akan
terlihat seperti apa sekarang ini.
Jadilah sekarang ini aku bolos
sekolah dan kabur dari rumah bersama dia. Padahal hari ini aku ada ulangan
bahasa inggris. Dasar!
“ayo main air!” serunya girang
seperti anak kecil. Dia sudah berlari mengejar
ombak di depan sana. Sedangkan aku masih terduduk disini sambil
memandangi tingkah anehnya yang membuatku bingung. Dia mengabaikan semua
pertanyaanku. Dia berlaku sesuka hatinya. Ada apa ini sebenarnya?
Tapi kini tak mungkin lagi..
Katamu.. semua sudah tak berarti..
Satu jam saja.. Itupun tak
mungkin..
Tak mungkin lagi..
“Kamu kerumah sakit sekarang ya..
Dia kritis!” aku merasakan berbagai jenis pisau telah menyayat nyayat hatiku
dengan kasar. Begitu ngilu, begitu sesak, dan seakan membuatku mati rasa.
Beberapa detik aku hanya melewati waktu dengan diam. Berusaha mencerna
informasi yang baru saja aku dapatkan. Berusaha mengerti, berusaha memahami.
Dan berusaha untuk… tegar!
Baru setelah aku sadar, semua orang
disini sedang menatapku iba.
Aku menyambar tasku yang tergeletak
di atas meja. Berusaha mengabaikan tatapan terkejut mereka. Berusaha tak
menghiraukan satpam yang berteriak teriak mengumpat tindakan melanggar tata terbib yang baru saja aku lakukan. Aku
tak perduli!
Buru buru ku stop taksi yang
kebetulan lewat didepan sekolahku. Lalu dengan tergesa gesa mengatakan tempat
tujuanku pada sang sopir.
“cepat pak.. Cepat!!” perintahku.
Setelah sampai, kuserahkan selembar
uang 50ribuan pada sopir itu. Lalu buru buru keluar dari
mobil dan menutup pintunya dengan asal. Kulankahkan kakiku menuju ruang UGD
yang sekarang ini tengah dihuni oleh laki laki yang teramat sangat kusayangi.
Dan kali ini aku melihatnya.
Melihat dia yang sedang dalam keadaan ‘tidak baik baik’ saja. Itupun hanya
melalui jendela kecil. Aku sudah berulang kali memohon agar di izinkan untuk
masuk. Aku ingin melihatnya. Aku ingin memberikan sedikit kekuatan agar dia
bertahan. Tapi kenapa semua orang disini
menentangku? Kenapa mereka semua tidak memperbolehkanku? Kenapa melarang?
Aku kembali menatapnya dari jendela
sialan ini. Matanya terpejam erat penuh kedamaian. Walaupun disana sini dapat
terlihat banyak luka lebam dan goresan kecil. Belum lagi alat alat yang
menempel di tubuhnya.
Aku.. aku tidak tahan!
Kubiarkan saja air mata ini meleleh
turun membasahi pipiku. Aku sedang berduka? Tidak adakah yang bisa memahami?
Sedikit saja turut merasakannya? Meredakan nyeri didadaku?
Jangan berakhir..
Kuingin sebentar lagi.. Satu jam saja..
Izinkan aku merasa..
Rasa itu pernah ada..
Aku hanya bisa terdiam menyaksikan
orang orang berseragam putih itu melepaskan semua selang yang tertempel
ditubuhnya. Semuanya seakan mengalir. Mati rasa. Sudah terlampau banyak butir
air mata itu terjatuh dari mataku. Sehingga saat ini tak ada lagi yang bisa
kulakukan. Menangispun rasanya percuma saja.
Aku menatapnya dengan pandangan
kosong. Sedangkan semua orang disekitarku menangis, menjerit, meronta
menyaksikan seorang berseragam putih itu menutup seluruh tubuhnya serta wajah
tampan nya dengan kain putih bersih.
Aku lelah, aku ingin segera
beranjak pergi dari tempat menyedihkan ini. Bagaimana mungkin dia hanya diam
saja ketika tubuhnya ditutup kain laknat itu. Aku ingin memarahinya. Aku ingin
mengatainya dengan mulutku seperti biasanya. Tapi bisakah kulakukan semua itu
sedangkan dia hanya diam tak merespon apapun.
Jangan berakhir..
Karena esok takkan lagi..
Satu jam saja.. hingga kurasa bahagia..
Mengakhiri segalanya..
Aku menikmati pantai ini. Airnya, pasirnya,
langitnya, masih saja sama seperti saat terakhir kali aku kemari bersama dia.
Rasanya bayangan banyangan kejadian yang sudah berlalu itu kembali melesak keluar
dari fikiranku. Seperti magnet yang terus menarikku agar mengikuti alurnya.
Dan akupun dapat melihat bayangan
kita yang sedang berlari mengejar ombak dengan bahagia. Saling menyampaikan
rasa melalui bahasa tubuh yang tersirat.
Tapi tunggu, apa itu kamu? Aku
melihatmu. Kau melambaikan tangan mengajak ku bermain bersama gulungan ombak
yang kian membesar akibat angin yang juga semakin kencang. Hei, kamu ingin aku
menyusulmu? Kamu ingin aku bermain bersamamu?
Oke aku akan segera menyusul dan
menemanimu disana. Tunggu aku ya..
Aku terus berjalan lebih dalam lagi
ke laut lepas. Tak perduli pada air yang kian menelanku bersama raiaknya. Tak perduli
pada suara suara orang yang tengah berteriak memanggilku di belakang sana.
Sudahlah.. aku hanya ingin menyusul pacarku.. Kenapa semua orang se histeris
itu?
_______________END_______________
No comments:
Post a Comment